Pembelajaran Berbasis Kerja

Oleh: Robert Bala

Perubahan drastis dunia kerja lebih lagi oleh Covid-19 kian menyadarkan bahwa pembenahannya tidak bisa dipisahlepaskan dari dunia pendidikan sebagai hilirnya. Bila dikhususkan dalam pendidikan vokasi, maka pertanyaannya: apa yang perlu dilakukan out put yang diharapkan lebih kualitatif dan kontekstual?

Tidak sulit menjawabnya. Pembelajaran Berbasis Kerja (work-based learning/WBL) diyakini menjadi alternatifnya. Model ini oleh Perkins V (program federal yang berinvestasi dalam pembentukan karir dan pendidikan vokasi di 50 negara bagian di AS), mengartikan WBL sebagai interaksi berkelanjutan antara lembaga pendidikan (khususnya pendidikan teknis karir) dengan dunia kerja atau kaum profesionalitas dalam komunitas sehingga mendorong terwujudnya aneka inovasi dan kreativitas yang dibutuhkan.

Ide ini bisa saja disinyalir oleh pengambil keputusan di Indonesia bahwa telah diterapkan. Dalam arti tertentu bisa dijawab ya. Hal itu bisa terlihat dari implementasi pembelajaran bermain peran (role playing). Apa yang terjadi dalam dunia kerja diperankan dalam kelas.

Ada yang melangkah lebih jauh dengan menghadirkan praktisi dunia kerja ke dalam kelas. Yang lain mengadakan studi lapangan (field study). Para (maha)siswa bisa melihat langsung praktik kerja.

Hal tertinggi yang bisa diterapkan yaitu dengan model praktik lapangan kerja (PKL) di tingkat SMK atau magang pada Perguruan Tinggi. Di sana ada pengalaman langsung. Namun bila dikritisi, model ini masih mengandung celah, hal mana ingin dibahas solusinya melalui tulisan ini.

Berbasis Riset

Celah Praktik Kerja Lapangan (PKL) maupun magang pada tingkat diploma (1-4), dengan rentang waktu kurang dari 6 bulan meski dapat memberikan pengalaman kerja tetapi efeknya belum transformatif. Hal ini karena yang ditargetkan tidak lebih dari diperolehnya pengalaman melalui Pelatihan Berbasis Kerja (Work-Based Training/ WBT).

Hal seperti ini memang positif. Tetapi sebagai sebuah pengalaman nyata, ia nyaris dapat diulang dalam bentuk yang sama di masa depan. Transformasi yang kian cepat dan perubahan substansial menjadikan apa yang dialami kini nyaris bisa diulang. Format akan terus berubah mengikuti tuntutan zaman.

Kekurangan inilah yang hendak dijembatani oleh model Pembelajaran Berbasis Kerja (WBL). Pada proses ini, konektivitas erat antara lembaga pendidikan dan Dunia Industri menjadi conditio sine qua non alias syarat mutlak. Tujuannya agar apa yang dilaksanakan tidak hanya agar sesuai dengan apa yang dipelajari tetapi malah melampauinya.

Mengapa demikian? Karena yang ingin dituju selama masa pembelajaran bukan terutama agar maha(siswa) memperoleh keterampilan keras (hard skill). Kalau pun diperoleh, itu bukan tujuan utama. Yang lebih diprioritaskan adalah para maha(siswa) bisa mempraktikkan enam keterampilan keterampilan lunak (soft skill) yaitu: komunikasi, antusiasme dan sikap, kerja tim, jaringan, pemecahan masalah, keterampilan berpikir kritis, profesionalisme.

Kalau keterampilan lunak ini dilatih, ditempah, dan diejawantahkan secara konsisten maka tidak bisa tidak, para pembelajar akan dibiasakan untuk melakukan hal yang paling penting dalam proses kerja yaitu melakukan Kerja Berbasis Riset atau Work-Based Researching (WBR). Jelasnya, para (maha)siswa dibekali dengan perangkat riset agar mereka bisa mengamati dan menjelaskan hubungan antarvariabel, menguji teori, melakukan generalisasi fenomena sosial yang diteliti. Dalam arti ini, maka riset kuantitatif terasa lebih pas untuk dibekalkan kepada (maha)siswa.

Pola riset ini menjadi jawaban sekaligus mengingatkan bahwa setiap orang perlu mengamati (riset) aneka variabel yang terjadi secara cermat. Selanjutnya dalam periode praktik lapangan mereka bisa meniru hal yang baik dan benar. Namun mereka tidak berhenti di situ. Perlu ada upaya memodifikasi. Dalam arti ini, prinsip Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM) menjadi istilah yang tampaknya sederhana tetapi mewakili sebuah proses dengan hasil menakjubhan.

Inovasi atau modifikasi seperti ini mestinya merupakan target terpenting yang diharapkan lahir dari WBL. Apa yang terjadi perlu diamati dan diteliti dengan cermat untuk menemukan substansi sekaligus memprediksi bahwa aneka variabel yang terjadi akan berkontribusi menghadirkan modifikasi yang akan sangat mungkin menghadirkan pola baru di masa yang akan datang.

Sampai pada titik ini, Pembelajaran Berbasis Kerja / WBL yang diterapkan pada pendidikan vokasi perlu ditransformasi. Perlu ada peralihan pada sekadar Praktik Kerja Lapangan atau magang yang selama ini diterrapkan. Inilah sebuah model yang di dunia pendidikan internasional masih dikelompokkan sebagai ‘internship’, sebuah proses jangka pendek yang kadang memiliki keterkaitan yang tidak kuat dengan dunia pendidikan.

Sebaliknya yang perlu jadi target adalah pola apprenticenship. Di sini magang terjadi oleh periode waktu 1-3 tahun hal mana tengah diterapkan di Akademi Perhotelan Tunas Indonesia (APTI) yang bekerjasama dengan Hotel Paragon Jakarta (HPJ).

Di sini, para mahasiswa D4 melaksanakan WBT pada tahun pertama. Selanjutnya pengalaman itu direfleksikan dalam pembelajaran (WBL) dengan memberikan dasar pada Pembelajaran Berbasis Riset sebagai perangkat lunak yang memungkinkan seseorang terus memantaskan dan memantapkan dirinya secara terus menerus setelah mengamati perubahan dan mempraktikkan pola yang baik tetapi sekaligus memodifikasi secara tepat.

Untuk mengejawantahkan pola ini memang tidak mudah. Butuh keberanian. Ideal menerapkan 70% praktik dan 30% misalnya saja kerap hanya di atas kerja. Mustahil pola pembelajaran praktik menjadi terwujud kalau Internet Based Learning tidak dibenahi.

Di sana pola tatap muka secara langsung maupun pola sinrkonus tidak bisa dijadikan ukuran. Ia harus beralih ke pola asinkronius dengan konsekuensi bahwa jadi target penilaian untuk kualitas Pendidikan Vokasi bukan pada tersajinya ruang kelas yang representatif dengan visualisasi show room sebagai laboratorium tetapi pengamatan langsung di lapangan tentang penerapan WBL secara nyata.

Pandemi covid-19 sebenarnya sudah menghadirkan peluang ini. Tetapi apakah pola Pembelajaran Berbasis Kerja (WBL) akan sepenuh hati diterapkan sebagai buah dari pandemi? Ini pertanyaan yang perlu kita jawab bersama.

Penulis, Robert Bala. Staf Pengajar Akademi Perhotelan Tunas Indonesia (APTI) dan Hotel Paragon Jakarta (HPJ).

Oleh: Robert Bala

Perubahan drastis dunia kerja lebih lagi oleh Covid-19 kian menyadarkan bahwa pembenahannya tidak bisa dipisahlepaskan dari dunia pendidikan sebagai hilirnya. Bila dikhususkan dalam pendidikan vokasi, maka pertanyaannya: apa yang perlu dilakukan out put yang diharapkan lebih kualitatif dan kontekstual?

Tidak sulit menjawabnya. Pembelajaran Berbasis Kerja (work-based learning/WBL) diyakini menjadi alternatifnya. Model ini oleh Perkins V (program federal yang berinvestasi dalam pembentukan karir dan pendidikan vokasi di 50 negara bagian di AS), mengartikan WBL sebagai interaksi berkelanjutan antara lembaga pendidikan (khususnya pendidikan teknis karir) dengan dunia kerja atau kaum profesionalitas dalam komunitas sehingga mendorong terwujudnya aneka inovasi dan kreativitas yang dibutuhkan.

Ide ini bisa saja disinyalir oleh pengambil keputusan di Indonesia bahwa telah diterapkan. Dalam arti tertentu bisa dijawab ya. Hal itu bisa terlihat dari implementasi pembelajaran bermain peran (role playing). Apa yang terjadi dalam dunia kerja diperankan dalam kelas.

Ada yang melangkah lebih jauh dengan menghadirkan praktisi dunia kerja ke dalam kelas. Yang lain mengadakan studi lapangan (field study). Para (maha)siswa bisa melihat langsung praktik kerja.

Hal tertinggi yang bisa diterapkan yaitu dengan model praktik lapangan kerja (PKL) di tingkat SMK atau magang pada Perguruan Tinggi. Di sana ada pengalaman langsung. Namun bila dikritisi, model ini masih mengandung celah, hal mana ingin dibahas solusinya melalui tulisan ini.

Berbasis Riset

Celah Praktik Kerja Lapangan (PKL) maupun magang pada tingkat diploma (1-4), dengan rentang waktu kurang dari 6 bulan meski dapat memberikan pengalaman kerja tetapi efeknya belum transformatif. Hal ini karena yang ditargetkan tidak lebih dari diperolehnya pengalaman melalui Pelatihan Berbasis Kerja (Work-Based Training/ WBT).

Hal seperti ini memang positif. Tetapi sebagai sebuah pengalaman nyata, ia nyaris dapat diulang dalam bentuk yang sama di masa depan. Transformasi yang kian cepat dan perubahan substansial menjadikan apa yang dialami kini nyaris bisa diulang. Format akan terus berubah mengikuti tuntutan zaman.

Kekurangan inilah yang hendak dijembatani oleh model Pembelajaran Berbasis Kerja (WBL). Pada proses ini, konektivitas erat antara lembaga pendidikan dan Dunia Industri menjadi conditio sine qua non alias syarat mutlak. Tujuannya agar apa yang dilaksanakan tidak hanya agar sesuai dengan apa yang dipelajari tetapi malah melampauinya.

Mengapa demikian? Karena yang ingin dituju selama masa pembelajaran bukan terutama agar maha(siswa) memperoleh keterampilan keras (hard skill). Kalau pun diperoleh, itu bukan tujuan utama. Yang lebih diprioritaskan adalah para maha(siswa) bisa mempraktikkan enam keterampilan keterampilan lunak (soft skill) yaitu: komunikasi, antusiasme dan sikap, kerja tim, jaringan, pemecahan masalah, keterampilan berpikir kritis, profesionalisme.

Kalau keterampilan lunak ini dilatih, ditempah, dan diejawantahkan secara konsisten maka tidak bisa tidak, para pembelajar akan dibiasakan untuk melakukan hal yang paling penting dalam proses kerja yaitu melakukan Kerja Berbasis Riset atau Work-Based Researching (WBR). Jelasnya, para (maha)siswa dibekali dengan perangkat riset agar mereka bisa mengamati dan menjelaskan hubungan antarvariabel, menguji teori, melakukan generalisasi fenomena sosial yang diteliti. Dalam arti ini, maka riset kuantitatif terasa lebih pas untuk dibekalkan kepada (maha)siswa.

Pola riset ini menjadi jawaban sekaligus mengingatkan bahwa setiap orang perlu mengamati (riset) aneka variabel yang terjadi secara cermat. Selanjutnya dalam periode praktik lapangan mereka bisa meniru hal yang baik dan benar. Namun mereka tidak berhenti di situ. Perlu ada upaya memodifikasi. Dalam arti ini, prinsip Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM) menjadi istilah yang tampaknya sederhana tetapi mewakili sebuah proses dengan hasil menakjubhan.

Inovasi atau modifikasi seperti ini mestinya merupakan target terpenting yang diharapkan lahir dari WBL. Apa yang terjadi perlu diamati dan diteliti dengan cermat untuk menemukan substansi sekaligus memprediksi bahwa aneka variabel yang terjadi akan berkontribusi menghadirkan modifikasi yang akan sangat mungkin menghadirkan pola baru di masa yang akan datang.

Sampai pada titik ini, Pembelajaran Berbasis Kerja / WBL yang diterapkan pada pendidikan vokasi perlu ditransformasi. Perlu ada peralihan pada sekadar Praktik Kerja Lapangan atau magang yang selama ini diterrapkan. Inilah sebuah model yang di dunia pendidikan internasional masih dikelompokkan sebagai ‘internship’, sebuah proses jangka pendek yang kadang memiliki keterkaitan yang tidak kuat dengan dunia pendidikan.

Sebaliknya yang perlu jadi target adalah pola apprenticenship. Di sini magang terjadi oleh periode waktu 1-3 tahun hal mana tengah diterapkan di Akademi Perhotelan Tunas Indonesia (APTI) yang bekerjasama dengan Hotel Paragon Jakarta (HPJ).

Di sini, para mahasiswa D4 melaksanakan WBT pada tahun pertama. Selanjutnya pengalaman itu direfleksikan dalam pembelajaran (WBL) dengan memberikan dasar pada Pembelajaran Berbasis Riset sebagai perangkat lunak yang memungkinkan seseorang terus memantaskan dan memantapkan dirinya secara terus menerus setelah mengamati perubahan dan mempraktikkan pola yang baik tetapi sekaligus memodifikasi secara tepat.

Untuk mengejawantahkan pola ini memang tidak mudah. Butuh keberanian. Ideal menerapkan 70% praktik dan 30% misalnya saja kerap hanya di atas kerja. Mustahil pola pembelajaran praktik menjadi terwujud kalau Internet Based Learning tidak dibenahi.

Di sana pola tatap muka secara langsung maupun pola sinrkonus tidak bisa dijadikan ukuran. Ia harus beralih ke pola asinkronius dengan konsekuensi bahwa jadi target penilaian untuk kualitas Pendidikan Vokasi bukan pada tersajinya ruang kelas yang representatif dengan visualisasi show room sebagai laboratorium tetapi pengamatan langsung di lapangan tentang penerapan WBL secara nyata.

Pandemi covid-19 sebenarnya sudah menghadirkan peluang ini. Tetapi apakah pola Pembelajaran Berbasis Kerja (WBL) akan sepenuh hati diterapkan sebagai buah dari pandemi? Ini pertanyaan yang perlu kita jawab bersama.

Penulis, Robert Bala. Staf Pengajar Akademi Perhotelan Tunas Indonesia (APTI) dan Hotel Paragon Jakarta (HPJ).

Scan the code